Restaurant Demang - Palembang

Masih di Palembang, rekomendasi ketiga yang saya dapat adalah Restaurant Demang yang berlokasi di Jl. Demang Lebar Daun. Menu andalan dari Restaurant Demang adalah masakan yang serba pindang. Pada kesempatan ini saya memesan menu Pindang Tulang Sapi dan Pindang Ikan Patin.



Menu Pindang Tulang Sapi menarik perhatian saya karena baru kali ini saya menemui menu seperti ini. Seperti apa ya rasanya Pindang Tulang Sapi itu?? Sedikit penasaran juga dengan menu yang satu ini. Tapi untungnya tidak terlalu lama menunggu, datanglah mba pelayan mengantarkan semangkuk Pindang Tulang Sapi berisi 3 potong tulang berbalut daging yang dihidangkan lengkap dengan irisan nanas, sedikit daun kemangi dan merah keriting.

Untuk menjawab rasa penasaran saya, tanpa menunggu lama, saya mulai mencicipi si Pindang Tulang Sapi ini. Kuahnya memiliki cita rasa yang manis. Kalau menurut saya, kok ya kurang cocok ya kalau disebut sebagai pindang. Menu pindang yang saya kenal umumnya memiliki cita rasa yang asam dan segar. Untuk dagingnya sendiri cukup mudah terlepas dari tulangnya.



Menu kedua yang saya cicipi adalah Pindang Ikan Patin. Sama seperti Pindang Tulang Sapi, Pindang Ikan Patin ini disajikan dalam mangkuk lengkap dengan irisan nanas, sedikit daun kemangi dan merah keriting. Seporsi Pindang Ikan Patin berisi sepotong bagian tubuh ikan. Sepertinya satu ekor ikan patin dibagi menjadi 3 bagian (kepala, badan, dan ekor).

Pertama-tama saya mencicipi kuahnya dan... ternyata rasanya segar sekali, jauh berbeda dengan rasa kuah Pindang Tulang Sapi. Nah, ini baru citarasa pindang yang asli, asam dan segar berpadu menciptakan citarasa yang sempurna. Untuk rasa ikannya pun sangat lembut dan terasa bahwa ikan yang digunakan adalah ikan yang masih segar.

Dari kedua menu pindang ini, menurut saya yang pantas menjadi Juaranya adalah Pindang Ikan Patin.

Tak terasa ini adalah hari terakhir saya di Palembang, padahal masih ada rekomendasi yang belum sempat saya cicipi, diantaranya adalah Martabak HAR, Mie Celor, dan Pempek Nony. Jadi suatu saat saya akan kembali lagi ke Palembang.

Kwetiau Goreng - Palembang



Perjalanan wisata kuliner di Palembang berlanjut, rekomendasi kedua dari Om saya adalah Kwetiau Goreng yang tak bernama, terletak Jl. Basuki Rahmat sebelum dealer mobil Proton (pas turunan). Kwetiau Goreng ini dijual di bangunan semi permanen yang amat sangat sederhana yang terbuat dari kayu papan. Warung Kwetiau Goreng buka mulai pukul 16.00 s/d habisnya.

Cara penyajian Kwetiau Goreng di Palembang ternyata berbeda dengan cara penyajian di Jakarta. Kalau Kwetiau Goreng ala Palembang disajikan dengan cara kwetiau digoreng terlebih dahulu beserta bumbunya lalu diangkat dan di letakkan di piring saji. Kemudian toping yang terdiri dari sawi hijau, Gohyong yang diiris tipis, beserta daging babi lengkap dengan hati dan ususnya dimasak dengan sedikit kuah yang dikentalkan dengan tepung maizena. Setelah matang, toping tersebut baru disiramkan ke atas kwetiau yang sudah disiapkan di piring saji tersebut. Jadi Kwetiau Goreng ala Palembang ini mirip dengan Kwetiau Siram yang saya kenal di Jakarta.

Terlepas dari kesederhanaan tempatnya, Kwetiau Goreng ini memiliki rasa yang cukup unik dan menarik. Maka tidak heran kalau banyak orang yang menjadi pelanggan setianya sejak warung ini berdiri (tahun 1980-an).

Selain Kwetiau Goreng, warung ini juga memiliki menu istimewa yang lain, yaitu Gohyong ikan dan babi. Gohyong ikannya memiliki rasa unik dan hampir mirip dengan empek-empek. Begitu pula dengan Gohyong babinya, juga memiliki cita rasa yang unik.

CJ's Steak Kampoeng - Bandung




CJ's Steak Kampoeng, dari namanya aja udah bikin penasaran. Pertama kali denger kata "Steak Kampoeng" cukup membayangkan juga gimana ya bentuk penyajiannya? trus gimana dengan rasanya? Enak gak ya? Jangan-jangan daging steaknya kecil alias cuma jadi "pelengkap penderita" aja?

Alhasil daripada penasaran terus, akhirnya langsung aja ke lokasi. CJ's Steak Kampoeng ini terletak di JL. Laksamana Laut RE. Martadinata 189 atau lebih dikenal dengan JL. Riau 189, Bandung. Letaknya itu persis diantara Hotel Riau dan CircleK. Tempatnya cukup bersih dan nyaman, ada pilihan tempat duduk di dalam ruangan atau di teras. Cuma satu kekurangannya, halaman parkirnya sangat terbatas hanya untuk 2 mobil, sisanya ya harus parkir di pinggir jalan.

Sedikit informasi, CJ's Steak Kampoeng ini baru buka sekitar 7 bulan, jadi masih baru banget. Tapi menurut yang punya, Ibu Henny Hendrianty, CJ's Steak Kampoeng ini sudah memiliki pelanggan setia karena mereka terkesan banget dengan keunikan hidangan di CJ's Steak Kampoeng yaitu menggunakan bumbu-bumbu kampung (keloewak, kencur,dll). Oya, semua resep hidangan di CJ's Steak Kampoeng diciptakan oleh suami Ibu Henny yang seorang Chef Internasional, yaitu Chef Bagyo Wibawanto. Karena keunikan dari hidangannya, CJ's Steak Kampoeng, sampai-sampai mendapat perhatian khusus dari Dinas Pariwisata Kota Bandung. Wow, penghargaan yang luar biasa kan??!! Soalnya jarang-jarang lho ada resto baru berdiri trus dapat kunjungan dari Dinas Pariwisata.

Menu yang saya coba berdasarkan referensi dari Ibu Henny adalah Bistik Djawa, Bistik Keloewak, dan Sop Boentoet Bakar saus Keloewak. Untuk Bistik, saya memesan jenis Tenderloin Steak. Ibu Henny juga menawarkan tantangan mencoba minuman racikan Sang Chef, yaitu Strawberry-Cheese dan Orange-Cheese.

Seluruh hidangan disajikan di piring yang menurut saya sangat lebar (kira-kira diameter 25 cm), seperti hidangan yang disajikan di hotel berbintang lima, dengan tampilan yang sangat baik dan menarik. Ternyata ukuran dagingnya tidak sekecil yang saya bayangkan sebelumnya karena CJ's Steak Kampoeng menggunakan ukuran standar untuk steak yaitu 130-150 g.

Bistik Djawa dihidangkan dengan nasi goreng kencur dan plecing kacang panjang pedas. Hidangan ini rasanya manis khas masakan Jawa dengan sedikit rasa asam yang berasal dari jeruk pecel. Dagingnya yang sangat empuk dan juicy dengan saus Jawa dan cocolan kecap manis bercampur irisan cabe terasa mantap dengan dorongan nasi goreng kencur dan plecing kacang panjang pedas. Rasa nasi gorengnya sedikit hambar, klo menurut Sang Chef karena nasi goreng tersebut hanya sebagai penyeimbang bistik sebagai menu utamanya. Saya terkejut dengan daging yang sangat empuk, bahkan bisa terpotong hanya dengan sendok, padahal ini daging sapi lokal lho. Apa rahasianya ya?? Untungnya Sang Chef mau berbagi rahasia, kuncinya adalah si daging dibiarkan selama 2 hari di suhu 4 derajat Celcius sejak sapi dipotong.

Menu Bistik juga bisa disajikan kentang goreng dan sayuran, seperti Bistik Keloewak ini. Sesuai dengan karakteristik keloewak, saus Bistik Keloewak berwarna hitam. Rasanya manis dengan rasa pedas yang sangat halus. Dagingnya juga sangat empuk dan juicy.




Selanjutnya ada Sop Boentoet Bakar Saus Keloewak yang disajikan lengkap dengan nasi, kuah sop, kerupuk udang, timun dan tomat iris serta sambal. Satu porsi terdiri dari tiga potong buntut sapi lokal yang sangat empuk. Kuah sopnya sangat kaya rempah, rasanya pun sangat enak (MakNyuss -- meminjam istilah Pak Bondan Winarno).


Strawberry-Cheese adalah Strawberry dicampur dengan susu dan parutan keju. Menurut saya rasa strawberry-nya sangat dominan jika dibandingkan dengan rasa kejunya. Nah, kalau Orange-Cheese (gbr disamping) adalah jeruk yang dicampur dengan susu dan parutan keju. Berbeda dengan Strawberry-Cheese, pada Orange-Cheese rasa susu dan kejunya terasa sekali. Menurut saya kedua minuman tersebut memiliki rasa yang sangat unik, patut untuk dicoba.


Dari ketiga hidangan tersebut, Juaranya jatuh kepada Sop Boentoet Bakar Saus Keloewak dan Bistik Djawa.

Harga yang dibandrol CJ's Steak Kampoeng per 25 Juli 2009 cukup murah meriah jika dibandingkan dengan kualitas hidangannya. Seporsi Bistik Djawa bisa didapat dengan harga Rp 22.500,- dan untuk Bistik Keloewak di kisaran Rp 20.000,-. Harga seporsi Sop Boentoet Bakar Saus Kloewak adalah Rp 20.000,-. Untuk Strawberry-Cheese harganya Rp 15.000,- dan Orange-Cheese harganya Rp 12.000,-.

Satu lagi keunikan di CJ's Steak Kampoeng, setelah saya selesai makan, Pemilik Resto dan Chef-nya mendatangi meja saya untuk menanyakan kesan terhadap menu yang saya makan dan minum. Mereka pun tidak pelit untuk berbagi tips tentang makanan. Servicenya seperti di resto hotel bintang lima.

Berdasarkan pengalaman saya, rasanya pantas kalau CJ's Steak Kampoeng ini dapat sebutan "Resto Kualitas Bintang Lima, Harga Kaki Lima".

Selamat Mencoba..!!!

Danau Toba & Pulau Samosir - Sumatera Utara

Berwisata ke Danau Toba kurang lengkap rasanya jika tidak berkunjung ke Pulau Samsir, sebuah pulau vulkanik yang terletak di tengah-tengah Danau Toba. Dari Parapat saya dan keluarga menggunakan speed boat yang kami sewa seharga Rp 600.000,- untuk 1 jam, itupun setelah tawar-menawar yang sangat alot dengan pemilik boat.

Sebelum ke Pulau Samosir, kami dibawa melihat obyek wisata Batu Gantung, sebuah batu yang menyerupai tubuh manusia dan seolah-olah menggantung pada dinding tebing di tepi Danau Toba. Menurut legenda masyarakat setempat, Batu Gantung adalah penjelmaan seorang gadis yang menolak dijodohkan oleh orang tuanya lalu bunuh diri di tebing tersebut.

Setelah puas mengambil foto, speed boat membawa kami ke Pulau Samosir dan kami berlabuh di Kampung Tomok. Menurut Bapak Surung Sidabutar, pemandu wisata, asal kata Tomok adalah dari kata Tong Mok Mok yang berarti gemuk. Karena Raja Sidabutar Pertama yang berkuasa di sini bertubuh gemuk, maka daerah kekuasaannya pun disebut Tomok.


Tempat perhentian pertama kami di Tomok adalah Rumah Adat Batak Toba yang disebut Rumah Bolon, bangunan berbentuk empat persegi panjang ini biasanya dihuni oleh 5 sampai 6 keluarga dan dibangun 1,5 meter diatas tanah dengan tujuan bagian bawahnya digunakan sebagai kandang ayam, babi, dsb. Untuk memasuki rumah harus menaiki anak tangga yang terletak di sisi depan bagian tengah rumah dengan jumlah anak tangga yang ganjil. Bila hendak memasuki Rumah Bolon harus menundukkan kepala agar tidak terbentur pada balok yang melintang, hal ini dapat diartikan juga bahwa tamu menghormati si pemilik rumah. Terdapat perbedaan antara rumah raja dengan rumah rakyat jelata, yaitu pada bentuk pintunya. Pada Rumah Bolon raja memiliki pintu horizontal jadi tamu masuk lewat bawah, sedangkan pada rumah milik rakyat jelata memiliki pintu vertikal berukuran kecil sehingga tamu masuk lewat depan. Rumah Bolon yang berada di Tomok ini sudah berumur 480 tahun dan saat ini ditempati oleh generasi ke-17.

Di depan Rumah Bolon ini terdapat Si Gale Gale, boneka yang terbuat dari kayu poki (kayu besi) sangat mirip dengan manusia, lengkap dengan pakaian tradisional Batak dan bisa menari dengan iringan musik tradisional Batak. Kepala Si Gale Gale ini diukir dengan roman muka yang sangat menarik. Alis mata dibuat dari tanduk kerbau dan daun telinganya diperindah dengan ornamen yang terbuat dari kuningan dengan nama Sitepal.
Menurut Pak Surung, kira-kira 400 tahun yang lalu, Rahayat Raya (seorang Kepala Kampung sekaligus saudara kandung Raja Sidabutar) kehilangan anak laki-laki satu-satunya yang bernama Simanggale karena meninggal di peperangan. Kesedihan Rahayat sangat mendalam, sampai-sampai untuk menghibur diri, ia mengerahkan seluruh ahli ukir untuk membuatkan baginya sebuah boneka yang sangat mirip dengan wajah Simanggale yang dapat bergerak dan menari. Setelah boneka itu jadi, setiap Rahayat rindu dengan Simanggale, ia menyuruh dukun agama Permalim (agama asli Batak) memanggil roh Simanggale untuk menggerakan boneka tersebut supaya bisa menari mengikuti alunan musik (ngeri juga yaa...??). Untungnya kalau saat ini kita mau melihat Si Gale Gale menari tidak ada unsur gaib, alias digerakkan secara manual oleh manusia dengan tali, cukup membayar sejumlah tertentu untuk satu paket tarian (jumlah yang dibayar tergantung musim).

Perhentian kedua adalah Kuburan Tua Raja Sidabutar. Di pintu makam kami disambut oleh seorang bapak yang memberikan kami ulos untuk dipakai, seperti kalau di Bali setiap ke pura kita diharuskan memakai sarung. Di dalam Kuburan Tua Raja Sidabutar terdapat 3 kuburan Raja Sidabutar dan 3 kuburan keturunannya, sejak masih menganut agama Permalim hingga menganut agama Kristen yang dibawa oleh Nomensen pada tahun 1881.

Makam Raja Sidabutar terbuat dari batu utuh tanpa persambungan yang kemudian dipahat sebagai tempat peristirahatan terakhir Sang Raja. Pada makam tersebut, selain dipahatkan wajah sang raja, juga dipahatkan wajah seorang gadis yang konon sangat cantik (pada bagian belakang). Dimana raja sangat mencintainya, namun sayang cintanya bertepuk sebelah tangan. Pada makam bagian depan bawah juga dipahat sahabat raja yaitu Raja Aceh yang sedang berjongkok dan menunjukkan kemaluannya. Hal ini sebagai rasa terima kasih sang raja karena Raja Aceh telah mengajarkan taktik perang tanpa membunuh yaitu dengan mengangkat sarung dan menunjukkan kemaluannya keada musuh (hal tersebut sangat tabu dalam adat Batak) maka musuh pun akan lari menjauh. Diatas makam sang raja terdapat kain berwarna merah, putih , dan hitam. Masing-masing warna melambangkan dunia, surga, dan dunia orang mati (simbol agama Permalim).

Saya melihat ornamen 2 pasang payudara dan cicak di banyak tempat, diantaranya pada kayu dudukan Si Gale Gale, di pintu masuk dan keluar Kuburan Tua Raja Sidabutar, dan pada Rumah Bolon. Kira-kira maknanya apa ya? Akhirnya sang pemandu wisata menjelaskan bahwa kedua ornamen itu adalah simbol filosofi kehidupan masyarakat Batak. Dua pasang payudara merupakan simbol kesucian, kesetiaan, kekayaan (keturunan), dan kesuburan. Sedangkan Cicak menunjukkan prinsip orang Batak, yaitu mudah beradaptasi dimanapun mereka berada seperti cicak yang bisa hidup dimana saja.